Lelaki yang Kami Banggakan
Dia yang saat kecil lebih sering di sawah daripada di bangku sekolah. Membantu orang tua menanam padi atau mengangon kambing.
Dia yang tak pernah lulus SD karena di usianya yang ke dua belas memilih ikut kakaknya berdagang di ibu kota.
Dia
yang pandai mengelola uang sejak remaja. Saat remaja, hasil jualan ia tabung
dengan rumus 1/3. Sepertiga untuk hidupnya sehari-hari, sepertiga untuk
orang tuanya, dan sepertiga untuk mewujudkan cita-citanya; pergi haji.
Impiannya itu terwujud sesaat sebelum ia menikah.
Dia
yang saat muda rajin mengikuti pengajian di masjid-masjid. Sampai suatu
hari ia nekat menghampiri gurunya, seorang ulama yang cukup disegani,
untuk meminta dicarikan calon istri. Saat itu umurnya 24 tahun. Entah
apa yang membuat gurunya sepercaya itu pada sosoknya, tak
tanggung-tanggung ia dikenalkan dengan keponakan sang guru.
Dia
yang saat itu tidak mudah menyerah dengan sikap tak acuh keponakan sang
guru. Dia, yang entah dengan ilmu apa pada akhirnya membuat perempuan
itu memimpikannya. Perempuan itu bermimpi melihatnya sebagai sosok yang
bersinar dan lebih besar dari laki-laki lain yang sedang mendekatinya.
Mereka belum mengenal satu sama lain. Hanya sosoknya dalam mimpi yang
pada saat itu membuat sang perempuan mantap menerima pinangannya. Ia
menjadikan perempuan itu istrinya, sekaligus ibu dari keempat anak
mereka. Ibuku.
Dia
yang selalu haus dengan ilmu meski sudah berkeluarga. Ia memanggil guru
mengaji ke rumah untuk memperdalam ilmu agama. Ia juga mendaftarkan
diri di lembaga pendidikan bahasa Arab. Ditolak dengan alasan tidak
memiliki ijazah, maka tidak bisa mendapatkan sertifikat. "Saya nggak
butuh sertifikat. Saya cuma mau belajar." Ucapannya menjadi tiket masuk
untuknya belajar di sana dan di beberapa tempat lain setelahnya.
Dia
yang bisa memperbaiki keran, kipas angin, televisi, mesin air, hingga
mesin cuci. Ia bisa memasang kancing di seragam sekolah anaknya. Dia
juga bisa memijit. Dia bisa menenangkan Ibu yang mudah cemas. Dia
laki-laki serba bisa.
Dia
yang selalu menyempatkan diri mengantar anak-anaknya ke sekolah.
Bermodalkan satu tubuh yang tak pernah lelah bolak-balik
sekolah-rumah-sekolah sebab keempat anaknya tak muat diangkut dengan
satu motor.
Dia
yang meleburkan dirinya bukan hanya dengan keempat anaknya, melainkan
juga dengan puluhan bahkan ratusan anak-anak di sekitar rumah. Ia
membuat ruang tamu rumah ramai di malam hari dengan anak-anak yang
belajar mengaji. Jumlah anak kecil terus bertambah, namun luas ruang
tamu tak berubah. Dia membagi jam mengaji menjadi pagi, siang, sore.
Kini, ruang tamu rumah hanya sepi di malam hari.
Dia
yang pusing jika piringnya dipenuhi banyak lauk, membuat Ibu selalu
dikomentari penjual nasi uduk. "Masa Bapak makannya gini doang sih, Bu.
Kasian amat," kata penjual nasi uduk tiap melihat nasi yang Ibu beli
hanya ditemani telur atau orek tempe. Tidak pernah telur dan orek tempe.
Dia
yang tak pernah kehabisan humor untuk ditertawakan bersama di ruang
tengah. Bahan bernama 'masalah' sekali pun bisa ia tunjukkan sisi
lucunya. Ia tak pernah pula kehabisan ide untuk menjahili anak-anaknya.
Atau menjahili Ibu. Berkomplot dengan anak-anaknya.
Dia
yang setiap malam menceritakan kisah-kisah Nabi tanpa buku. Membuat
anak-anaknya menuntut dibelikan buku sebagai bukti. Jika ada detil
cerita yang tak sama, ia diserbu pertanyaan oleh anak-anaknya yang
kebingungan. Ia bersedia mengecek buku miliknya demi memberikan jawaban
yang tepat. Ia akui jika memang ia salah.
Dia
yang suara gas motornya amat dikenali oleh Ibu dan anak-anaknya.
Banyak motor yang keluar-masuk rumah, tapi bunyi gas dari motor yang ia
kendarai berbeda. Tak peduli menggunakan motor siapa pun, merk apa pun,
jika terdengar irama gas motor "brem, breeemm, brem" ciri khasnya
memasuki rumah, anak-anaknya tahu itulah waktunya berlari membuka pintu
dan berteriak "ayaaah". Tak pernah salah.
Dia
yang membuat anaknya menangis di depan kelas saat diminta bercerita
tentang sosok idola. Terima kasih untuknya. Untuk ayah yang kami
banggakan.
Terima kasih sudah mengingatkan akan banyaknya kebaikan orang tua.. bukan hanya keburukan yang diingat, memang mengapa harus keburukan jika kebaikannya sangat indah. Bersyukur atas mengenal mu, nak :")
BalasHapusHuwaa Obob terima kasih. :") Menulis mengingatkan dan menyadarkan :)
Hapus