Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

Lelaki yang Kami Banggakan

Gambar
Dia yang saat kecil lebih sering di sawah daripada di bangku sekolah. Membantu orang tua menanam padi atau mengangon kambing. Dia yang tak pernah lulus SD karena di usianya yang ke dua belas memilih ikut kakaknya berdagang di ibu kota.  Dia yang pandai mengelola uang sejak remaja. Saat remaja, hasil jualan ia tabung dengan rumus 1/3. Sepertiga untuk hidupnya sehari-hari, sepertiga untuk orang tuanya, dan sepertiga untuk mewujudkan cita-citanya; pergi haji. Impiannya itu terwujud sesaat sebelum ia menikah. Dia yang saat muda rajin mengikuti pengajian di masjid-masjid. Sampai suatu hari ia nekat menghampiri gurunya, seorang ulama yang cukup disegani, untuk meminta dicarikan calon istri. Saat itu umurnya 24 tahun. Entah apa yang membuat gurunya sepercaya itu pada sosoknya, tak tanggung-tanggung ia dikenalkan dengan keponakan sang guru. Dia yang saat itu tidak mudah menyerah dengan sikap tak acuh keponakan sang guru. Dia, yang entah dengan ilmu apa pada akhirnya

Wanita yang Kami Sayangi

Gambar
Dia yang ditinggal ayahnya saat berusia 8 tahun. Menjadikannya gadis kecil dengan tanggung jawab besar; mengasuh lima orang adik. Dia yang amat diproteksi kakeknya dalam berinteraksi dengan lelaki. Sampai di usianya yang ke 33 ia diminta menemui lelaki yang dibawa pamannya. Padahal peraturan kakeknya jelas; anak gadis tidak boleh menemui tamu laki-laki. Ia sengaja berpenampilan kucel sebab tak mau dinikahi "anak kecil" yang 9 tahun lebih muda darinya. Selain itu, ia juga menyukai laki-laki lain. Laki-laki yang lebih mapan dan berpendidikan. Dia yang hidupnya tak macam-macam. Pada akhirnya hanya ridho Allah dan orang tua yang ingin ia genggam. Ia memimpikan sosok "anak kecil" yang dibawa pamannya bersinar dan tinggi besar, sementara laki-laki yang ia sukai menjadi sosok yang kecil. Ia pun yakin menerima pinangan si "anak kecil". Menjadikannya suami, lalu ayah dari keempat anak mereka. Ayahku. Dia yang punya jawaban khas saat anaknya bertanya m

Diam?

Gambar
Gemerincing gantungan pintu kembali terdengar, membuatku kembali mendongakkan kepala untuk melihat ke sana. Dengan segera aku memasukkan bukuku ke dalam tas. Meski mataku minus, tanpa kacamata sekali pun aku tahu siapa yang baru saja membuka pintu; Ara, gadis yang gemar memakai kemeja kebesaran dan tas besar di balik punggungnya. Ia berdiri di sana sembari menoleh ke kiri ke kanan seperti mencari sesuatu. Seseorang tepatnya. Aku. Sengaja kubiarkan ia sibuk mengedarkan pandangan ke penjuru cafe. Toh, di tempat seramai dan sebesar apa pun, matanya yang besar dan jernih selalu mampu menangkap keberadaanku. Hanya matanya. "Di!" Ia berteriak memanggilku sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi seolah lupa ini tempat umum. Setelah aku membalas lambaiannya, ia berjalan ke arahku. Aku sangat menikmati momen seperti ini. Momen dimana ia mencariku, lalu melihatku, menemukanku, sampai akhirnya menghampiriku. Ini alasan sesungguhnya mengapa aku membiarkannya celingukan di depa