Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Dear All Family

Pengalaman magang di salah satu panti rehabilitasi narkoba tepat di bulan Ramadhan tahun lalu masih meninggalkan banyak kesan. Tadinya mau cerita soal hal itu di sini, tapi karena berbagai pertimbangan akhirnya mutusin untuk nggak dishare di sini. Biarlah jadi kenangan manis di hati aja. (?) Meski begitu, untuk mengabadikan momen seberharga itu gue ngerasa perlu meninggalkan sedikit jejak tentang mereka, para famili tercinta ("Famili" adalah sebutan yang mereka gunakan untuk menyebut diri mereka sesama residen – pecandu narkoba yang lagi direhabilitasi). Untuk mengingatkan diri gue tentang mereka, gue cuma bisa bilang Masa lalu mereka gelap. Masa depan mereka tak ada yang tahu. Yang kutahu, mereka tengah merangkak keluar dari kegelapan. Mencoba meraih cahaya tuk masa depan. Kita sama dengan mereka, hanya saja... Saat cahaya kita mulai redup, ada banyak yang siap membagi cahanya. Saat cahaya kita hampir padam, kita ingat akan cahaya di atas sana yang tak p

Ujian atau Azab?

Jangan bersedih. Tuhan sedang mengujimu. Kau akan naik kelas jika kau berhasil dalam ujian ini. Akhirnya, kau rasakan sendiri akibatnya! Azab Tuhan nyata. Kini Dia tunjukkan kemarahan-Nya padamu. Ini tanda sayang atau balasan dosa? Tak satu pun kebaikan ada dalam ribuan dosaku. Sebaliknya, ribuan dosa serta dalam kebaikanku yang satu. Racun dan penawar hati tak jarang saru. Aku tak sempurna dalam menghitung nikmat-Mu. Yang kuminta tapi tak Kau beri kadang terlihat lebih dari yang Kau beri tanpa pernah kuminta. Aku tak sempurna dalam merayu-Mu. Merasa sering menjura, padahal hati lebih sering mendua. Aku tak sempurna dalam memohon ampun. Tangisku kala mengingat dosa tak lebih keras dari tawaku akibat dunia. Ini tanda sayang atau balasan dosa? Aku tak punya jawaban tepat. Yang aku punya hanya keyakinan bahwa Kau Maha Penyayang dan Maha Pemaaf.

Ditinggal Kelas Pertama

Gambar
Pagi tadi, pertama kali ke sekolah lagi setelah liburan akhir tahun ajaran. Setelah sampai depan pintu sekolah, gue kembali deg-degan. Rasanya sama kayak enam bulan lalu waktu mau memperkenalkan diri di depan anak-anak hehe. Bedanya, pagi tadi deg-degan gue lebih ke nggak sabar ngeliat kembali ekspresi menggemaskan para bocah, terutama anak kelas B yang selalu semangat nyambut kedatangan gue di depan pintu. Iya, sepanjang semester lalu mereka emang sering dateng lebih pagi dari gue. Jelang masuk pintu sekolah, gue udah siap denger suara tinggi Malvino, "Kak Patiyaaah!" sambil lari ke arahku. Teriakannya seolah jadi komando bagi anak-anak lain untuk ikut lari menghampiri gue. Di kepala gue udah kebayang sosok Al ngibrit buru-buru rapiin mainan, sebelum ikutan nyerbu ke arah gue. Antrean yang tadinya rapi, mendadak kisruh karena Al ngedorong teman-temannya dari belakang. Kalau liat hal itu, sebelum gue sempat buka mulut, Deswita bakal udah lebih dulu ngomel, "

Saat Kau Bilang Tuhan Penipu

Jika kau menghilang, berarti kau sedang riang. Aku turut senang meski sesekali malamku seolah memanjang. Dicari hanya saat otakmu cenut, aku tak merengut. Dihubungi hanya saat isakmu pecah, aku tak masalah. Ditemui hanya saat wajahmu lusuh, aku tak mengeluh. Kata 'hanya' sungguh tak menjadi beban. Masalahmu yang kukhawatirkan. Caramu menyikapi masalah yang jadi persoalan. Kau mulai mengutuk Tuhan. Seketika aku merasa gagal menjadi teman. Sahabat, perlu kah kita bertukar tempat? Siapkah kau menampung curhat? Haruskah aku ikut mengeluhkan sisiku yang cacat? Biar kau tahu bahwa hidupmu tak sebegitunya sekarat. Bahagia tak berarti segalanya sempurna. Bahagia soal bagaimana kau melihat hikmah. Bersyukur tak hanya saat hidupmu sesuai rencana. Bersyukurlah dengan melihat ke bawah. Temui Tuhan-mu sebelum aku. Agar kau tahu siapa yang sesungguhnya penipu.

Kebetulan

Dalam hidup sehari-hari, pasti banyak hal yang (seakan-akan) terjadi begitu saja dan tanpa disengaja alias ke - be - tu - lan . Beberapa "kebetulan" mungkin berarti, tapi banyak juga "kebetulan" lain yang nggak ada artinya. Terjadi. Tanpa tindak lanjut. "Kebetulan" yang terjadi tanpa tindak lanjut ini yang biasanya dianggap sebagai "kebetulan" semata. Padahal, nggak ada yang namanya kebetulan. Semua hal terjadi di waktu dan tempat yang udah Allah atur. Cuma kita aja sebagai manusia yang kadang nalarnya nggak sampai buat ngambil kesimpulan dari kejadian tertentu. Gue sering ngalamin "kebetulan" yang pada akhirnya gue sadari bahwa itu bukan kebetulan. Mulai dari kejadian yang simpel kayak: biasanya langsung nyuci baju tapi ini nggak karena lupa, ternyata besok ujan seharian dan besokannya lagi baju itu mendadak harus dipakai. Alhamdulillah  lupa nyuci, kalau nggak dan pas mau dipakai masih basah? ...sampai "kebetulan"

Semester (ter)Pendek Sepanjang Masa

Tanggal : 8 Februari-18 Februari 2015 Pukul    : 06.30-22.00 WIB Ruang   : 204  Mata Kuliah : - Ilmu Kedokteran - Ilmu Keperawatan - Ilmu Komunikasi - Sosiologi - Ekonomi - Manajemen - Geografi - Sejarah - Psikologi - Bahasa Indonesia - Bahasa Daerah - Bahasa Arab - Fikih - Akidah Akhlak - Quran Hadits - Tata Boga - Administrasi - Pemasaran Kapasitas Peserta : 3++ Sepuluh hari terakhir gue menghabiskan waktu di ruang 204.  Di sana, gue banyak dapat pelajaran luar biasa yang kadang bikin takjub, senang, bingung, takut, heran, malu atau malah ketampar. Sebut gue norak atau apa pun, tapi gue beneran dapat banyak hikmah 'terjebak' di dalam sana. Nggak perlu uang atau buku. Cukup modal sabar, ikhlas, tanggap, buka mata, buka telinga, buka hati, sama norak sedikit (apresiasi kejadian atau hal positif sekecil apa pun). Udah. Sekarang, kelas favorit gue bukan lagi H104 atau H3, tapi 204. :)) Inti dari sekian banyak pelajaran yang gue dapat adalah lakuka

Tuan Menang Banyak (2)

Dua bulan berlalu sejak papan nama bertuliskan namaku bertengger di meja. Sejak itu, kau tak pernah luput menyebut namaku di ujung ucapan terima kasih atau permintaantolongmu. Seperti biasa, aku hanya membalas dengan "Iya, Mas," atau "Sama-sama, Mas".  Agar sopan dan karena aku tak tahu harus memanggilmu siapa, Tuan. Hingga sore itu datang. Tepat pukul 15.00. Kau keluar dari ruangan. "Tolong nomer 37, Mbak Putri." Tuan, tanpa kau sebutkan nomer lokermu, aku tahu di loker mana ransel, jaket, dan helmmu tersimpan.   Tuan, hampir lima menit dan kau masih berdiri di depan meja sambil sesekali mengecek ponsel. Apa masih ada barang yang tertinggal di dalam loker, Tuan? "Oh, nggak, Mbak. Gue lagi nunggu temen nih, orangnya belum dateng. Eh iya, di sini ada colokan nggak, Mbak? Hehe mau numpang ngecas hape sebentar, Mbak. Hape gue lowbat. Takutnya temen gue nyasar terus nggak bisa ngubungin gue kalau hape mati." Sementara ponselmu dicas,

Tuan Menang Banyak

Jam menunjukkan pukul 09.15, waktu dimana kau biasanya muncul di sini dengan mata berkantung dan berlingkar hitam, seperti saat ini. Mungkin kau tidur larut setiap malam sampai-sampai matamu tak terbuka lebar meski mentari sudah cukup terang bersinar. Aku heran, kalau kau memang masih mengantuk, mengapa kau selalu datang di jam yang sama? Mengapa tidak sesekali kau undur waktumu ke mari untuk sekadar menambah waktu tidurmu barang 30 menit? Tidak ada yang menghukummu kalau kau datang lebih siang dari ini, Tuan. Wah, lihat! Pagi ini ranselmu berwarna biru. Ransel baru ya, Tuan? Akhirnya kau mengganti ransel hitammu. Bukannya aku bosan dengan ransel hitammu, hanya saja aku gemas melihat lubang yang menganga di bagian bawah kiri ransel itu. Kalau buku catatan kecilmu jatuh di jalan, bagaimana? Tuan, aku tak tahu apa isi buku kecilmu itu. Aku hanya tahu setiap ke sini kau selalu membawa buku itu. Sampul buku itu berwarna oranye dengan gambar pohon di sampul depan dan sebuah stiker

(Maunya) Kado Ultah ke-21 Nanti

Gambar
Sore tadi seorang sahabat bergurau bahwa untuk ulang tahun gue tahun ini dia akan membawakan si X (nama disamarkan) sebagai kado ulang tahun. Awalnya gue cuma ketawa, tapi nggak lama gue jadi sedih (lagi baper emang hari ini). Gue sedih karena ucapan dia bikin gue jadi keingetan tiga orang sahabat gue. Ismi, Syarifah, Alfia. Ismi, Syarifah, Alfi merupakan sahabat gue sewaktu bersekolah di SD Negeri Pondok Terong 01. Gue kenal mereka dari semester dua kelas 3 sampai akhir kelas 4 SD. Waktu itu gue anak baru di sekolah itu, tapi mereka dan anak-anak lain ramah banget nyambut kehadiran gue. Nggak butuh waktu lama buat gue bisa berbaur, dekat, dan terbuka sama mereka. Padahal, di sekolah sebelumnya gue agak tertutup dan jarang main sama anak-anak lain meski udah tiga tahun kenal. Sayangnya, komunikasi kita putus sejak gue pindah rumah dan pindah sekolah pas kelas 5. Bocah seumuran kita pada saat itu nggak punya handphone , media sosial juga belum seheboh sekarang. Ditambah di rumah ba

Lelaki yang Kami Banggakan

Gambar
Dia yang saat kecil lebih sering di sawah daripada di bangku sekolah. Membantu orang tua menanam padi atau mengangon kambing. Dia yang tak pernah lulus SD karena di usianya yang ke dua belas memilih ikut kakaknya berdagang di ibu kota.  Dia yang pandai mengelola uang sejak remaja. Saat remaja, hasil jualan ia tabung dengan rumus 1/3. Sepertiga untuk hidupnya sehari-hari, sepertiga untuk orang tuanya, dan sepertiga untuk mewujudkan cita-citanya; pergi haji. Impiannya itu terwujud sesaat sebelum ia menikah. Dia yang saat muda rajin mengikuti pengajian di masjid-masjid. Sampai suatu hari ia nekat menghampiri gurunya, seorang ulama yang cukup disegani, untuk meminta dicarikan calon istri. Saat itu umurnya 24 tahun. Entah apa yang membuat gurunya sepercaya itu pada sosoknya, tak tanggung-tanggung ia dikenalkan dengan keponakan sang guru. Dia yang saat itu tidak mudah menyerah dengan sikap tak acuh keponakan sang guru. Dia, yang entah dengan ilmu apa pada akhirnya

Wanita yang Kami Sayangi

Gambar
Dia yang ditinggal ayahnya saat berusia 8 tahun. Menjadikannya gadis kecil dengan tanggung jawab besar; mengasuh lima orang adik. Dia yang amat diproteksi kakeknya dalam berinteraksi dengan lelaki. Sampai di usianya yang ke 33 ia diminta menemui lelaki yang dibawa pamannya. Padahal peraturan kakeknya jelas; anak gadis tidak boleh menemui tamu laki-laki. Ia sengaja berpenampilan kucel sebab tak mau dinikahi "anak kecil" yang 9 tahun lebih muda darinya. Selain itu, ia juga menyukai laki-laki lain. Laki-laki yang lebih mapan dan berpendidikan. Dia yang hidupnya tak macam-macam. Pada akhirnya hanya ridho Allah dan orang tua yang ingin ia genggam. Ia memimpikan sosok "anak kecil" yang dibawa pamannya bersinar dan tinggi besar, sementara laki-laki yang ia sukai menjadi sosok yang kecil. Ia pun yakin menerima pinangan si "anak kecil". Menjadikannya suami, lalu ayah dari keempat anak mereka. Ayahku. Dia yang punya jawaban khas saat anaknya bertanya m

Diam?

Gambar
Gemerincing gantungan pintu kembali terdengar, membuatku kembali mendongakkan kepala untuk melihat ke sana. Dengan segera aku memasukkan bukuku ke dalam tas. Meski mataku minus, tanpa kacamata sekali pun aku tahu siapa yang baru saja membuka pintu; Ara, gadis yang gemar memakai kemeja kebesaran dan tas besar di balik punggungnya. Ia berdiri di sana sembari menoleh ke kiri ke kanan seperti mencari sesuatu. Seseorang tepatnya. Aku. Sengaja kubiarkan ia sibuk mengedarkan pandangan ke penjuru cafe. Toh, di tempat seramai dan sebesar apa pun, matanya yang besar dan jernih selalu mampu menangkap keberadaanku. Hanya matanya. "Di!" Ia berteriak memanggilku sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi seolah lupa ini tempat umum. Setelah aku membalas lambaiannya, ia berjalan ke arahku. Aku sangat menikmati momen seperti ini. Momen dimana ia mencariku, lalu melihatku, menemukanku, sampai akhirnya menghampiriku. Ini alasan sesungguhnya mengapa aku membiarkannya celingukan di depa