Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Selesai sebelum Dimulai

"Orang lebih termotivasi untuk menghindari kegagalan daripada meraih keberhasilan." Itu sebabnya tulisanku ini kuakhiri sekarang.

Anto (Tak) Suka Hujan

Gambar
Hujan di pagi hari. Anto menjinjing sepatu ke sekolah. Sepulang sekolah, bukunya masih basah meski ia sudah di rumah. Anto tak suka hujan. Hujan turun lagi saat Anto bermain. Larinya terasa berat, laju bola terhambat. Lapangan becek, bajunya lepek. Anto tak suka hujan. Hujan deras membanjiri kota. Ayah ibunya terbaring. Mereka terkilir usai terseret arus banjir. Anto tak suka hujan. Hujan kembali turun. Anto ke luar, hujan ditantang. Berdiri di tepi jalan menawarkan payung merah di tangan. Anto bocah berpayung merah kini mencari uang. Anto bocah berpayung merah. Basahnya bukan hanya karena hujan, tapi juga peluh lelah. Payung merah ia genggam lemah. Ia masih menjemput receh meski terengah. Anto bocah berpayung merah. Ia menyesali air hujan yang mulai naik. Payung ditutupnya tanpa marah. Ia sadar ini saatnya mentari kembali terik. Anto bocah berpayung merah. Berharap hujan datang setiap hari. Langit terang mengundang resah. Ia khawatir keluarganya tak makan lagi

Rumput yang Baru

Gambar
Ini bukan perkara rumput siapa yang lebih hijau. Rumputmu hijau, rumputku pun hijau. Selama dirawat rumput akan tetap hijau. Aku merawat rumputku dengan baik. Santai, aku tak sedang paceklik. Ini bukan pula soal tidak bersyukur apalagi kufur. Nikmat-Nya terlalu nyata untuk diabaikan mata. Bahagiaku lebih dari cukup. Saat ada yang tak bisa kuraih, Allah mengganti lebih. Tenang, aku tak sedang bersedih. Ini soal peningkatan, pengembangan, dan perbaikan. Sama seperti rumput yang terus tumbuh, aku juga ingin tumbuh. Jika diam berarti mati, maka hidup perlu bergerak. Padang rumputku jutaan kali sudah kutinggali jejak. Jika bisa mengelilinginya dengan mata tertutup, masih kah itu terhitung gerak? Bersyukur bukan berarti hanya tidur. Menganggurkan nikmat-Nya yang lain, tidak kah itu tergolong kufur? Aku butuh padang rumput baru. Tanah-Nya masih banyak. Padang rumput baru akan kugarap. Demi  menggerakkan hidup dan menghidupkan gerak.

Saya Berasal dari [Tempat yang Ingin Aku Kunjungi Kembali]

Sepanjang minggu ini aku hepi karena seminggu yang lalu Persib Bandung jadi juara ISL setelah 19 tahun puasa gelar. Iya, Persib Juaraaa! :'D Buat gue yang mengidolakan Persib dari jauh kemenangan ini luar biasa membahagiakan, apalagi bagi orang-orang yang emang lahir atau tumbuh di Bandung, kotanya Persib. Nggak heran kalau kemenangan ini dirayain meriah sama rakyat Bandung. Ngomong-ngomong soal Bandung, Bandung adalah kota yang selalu pingin gue kunjungi. Dari dulu, tiap kali gue ditanya tentang kota mana yang paling mau gue kunjungi jawaban gue cuma Bandung. Gue bukan orang Bandung -cuma keturunan Sunda, nggak pernah tinggal di sana, nggak punya keluarga di sana, dan nggak pernah punya kenangan apapun di Kota Kembang itu. Alasan gue selalu pingin ke Bandung ya cuma satu: Persib Bandung. Gue mengidolakan Persib sejak kelas lima. Kelas lima pertama kalinya gue nonton pertandingan sepak bola Indonesia dan  gue langsung suka sama Persib. Sukanya gue sama Persib berbarengan den

Dia itu...

Seorang yang kukenal di bangku SMA (tepatnya beberapa bulan sebelum masuk SMA) ini adalah makhluk yang mandiri. Masak sendiri, makan sendiri, nyuci baju sendiri, jalan-jalan sendiri. Apa-apa dan ke mana-mana sendiri pokoknya. Ditambah dengan keberanian yang dimiliki, dia siap sendirian menyusuri dunia baru sekalipun. Tsaah mandiri atau jomblo, Mbak? Eits, dia nggak jomblo lho. Itu dia. Kasian pacarnya, kadang. Irit cerita saat ada masalah mungkin jadi keahliannya. Penyembunyi ulung. Kesannya sih kuat, tapi sebenernya... Dia nggak akan sembarang curhat minimal sampai dia nemuin sendiri setitik pencerahan. Kalo udah ada setitik pencerahan yang sebenernya belum mencerahkan alias bikin dia jadi dilema harus memutuskan, baru deh dia cerita ke orang yang bener-bener dia percaya.  Orang-orang terpilih itu bakal dia mintain pendapat dulu sebelum dia ambil tindakan. Pada dasarnya dia selalu mikir mateng-mateng sebelum bertindak, tapi dia sering ragu sama pemikirannya sendiri dan malah lebih

Waktu Semula

"Hanya masalah waktu dan semua akan kembali seperti semula, seperti tak ada masalah" Satu kalimat itu, yang tak sengaja terbaca pagi ini, seketika merobohkan pertahananku. Pertahanan yang kupaksa kokoh sejak beberapa tahun lalu demi menutupi satu gambaran masa lalu yang menurutku kelam. "Memaafkan bukan berarti melupakan". Itulah salah satu bahan pertahananku. Apa benar maafku jika melupakan saja tak mampu? Apa benar maafku jika dadaku sesak hanya karena membaca kalimat di atas? Pertahanan yang kubuat tak lain hanyalah sebuah penolakan dan penyangkalan. Menolak bahwa aku pernah mengalami hal itu dan menyangkal bahwa aku seorang pendendam yang tak bisa memaafkan. Tapi, bukankah memaafkan memang bukan berarti melupakan? Cukup. Buang bahan itu sekarang. Beri aku waktu. Bukan, bukan untuk memperkuat dan mempertinggi pertahananku. Beri aku waktu untuk menerima hal itu sebagai pengalaman yang membantu kita melewati tahap perkembangan. Beri aku waktu untuk mengikhlas

Lima Menit Bisa Apa?

Guling-guling di tempat tidur buat tidur lagi? Megang handuk dan ngelamun di depan kamar mandi? Milih satu dari sederet baju yang ada di lemari? Berdiri depan cermin ngatur poni biar nggak berspasi? Ngomel di depan laptop akibat lambatnya koneksi? Bolak-balik baca daftar menu kiri-kanan-kiri? Basmi lapar dengan masak indomie? Ngeringin setumpuk pakaian dengan mesin cuci? Buka jalan jadi artis dengan ikut audisi? Bikin orang ketawa lewat komedi sambil berdiri? Ningkatin penjualan lewat iklan di TV? Ngasih tausyiah sebelum beduk azan magrib berbunyi? Nyerang balik, nyetak gol, dan jadi seri? Beribadah mendekatkan diri pada Illahi? Dapat 40% nilai Pelatihan II dengan presentasi di depan penguji? (iya, ini curahan hati) Semua itu bisa terjadi dalam lima menit. Lima menit bisa berarti banget atau malah basi banget. Kamu yang pilih bagaimana lima menitmu diisi. Lima menit bisa apa? Yang pasti, bisa buat baca postingan ini. ;)

Garam

Terasa meski wujudnya tak ada Baru disadari jika rasanya pergi Luka bersih dengan membuat perih Dieksploitasi, lalu orang darah tinggi Bermanfaat tak perlu terlihat Bermanfaat kadang dituduh jahat Bermanfaat jika porsi tepat Garam penyedap rasa Garam penyembuh luka

Mati Terhakimi

Pagi Berlomba dengan matahari Dulu-duluan menyapa bumi Bukan ayam pematok rejeki Tapi ratusan orang yang naik metromini Aku berlari untuk kursi Sebut aku tak tahu diri Naik bus itu duduk, bukan berdiri Siang Kerja kejar tayang Yang penting bos senang Kerja kejar tayang Yang penting sempat makan rendang Lepas lapar kenangan datang Tak apa konsentrasi hilang Kan kerja kejar tayang esok masih bisa diulang Sore Secangkir kopi di kafe Sepiring somay tanpa pare Abadikan dengan kamera hape Apa pun yang terlihat hore Demi 'like' di FB Meski aku jadi kere Malam Pulang di atas jam enam Sikutku masih tajam Apa itu senyum sapa salam Asal di bus mata terpejam Selanjutnya biar kasur menelan tubuhku yang remuk redam Malam pergi, pagi kembali Silakan baca dari atas lagi Kurang empati! Tak punya mimpi! Hidup tanpa esensi! Begitu komentarmu sembunyi-sembunyi Malam pergi, pagi tak kembali Tak ada yang bisa kau baca lagi

Kursi Pesakitan

Gambar
"Ayah, kursi pesakitan itu apa sih? Kenapa namanya pesakitan?" "Apaan sih anak kecil sok baca koran. Sini! Kursi pesakitan aja nggak tau. Kursi pesakitan itu kursi yang bikin sakit. Keras, tajem. Sakit deh pokoknya kalo duduk di situ." Kau tersenyum pada kami. Berarti Abang benar? Kupikir karena kursinya keras. "Waktu kita tinggal satu hari, kau belum berhasil membujuknya? Bilang saja malam ini aku kena serangan jantung ya." "Pesakitan..pesakitan adalah orang yang terkena hukuman; terdakwa. Oh! Kalo gitu kursi pesakitan artinya..akh sebel dulu aku percaya aja lagi diboongin sama abang! Awas kamu, Bang!" Kau tertawa terbahak-bahak. Kali ini aku yang benar. Kupikir karena kursi itu untuk terdakwa. "Kau bilang kau bisa diandalkan, tapi kenapa bukti-bukti itu masih ada?? Tolong bawa aku ke rumah sakit." "Mentang-mentang udah SMP, berani ngambek ya sekaraang. Aku minta maaf deh. Yang penting

Saat Orang Baik Bahagia

Beberapa hari terakhir dapat kabar bahagia dari orang-orang di sekitar, mulai dari orang yang bener-bener deket, yang pernah deket, sampai orang yang cuma gue tau muka dan namanya. Menariknya, walau peristiwa gembira mereka (sebagian) bukan urusan gue, tapi gue (dan banyak orang lain) ikut seneng dengernya. Mereka yang bahagia, mereka yang ngalamin, nggak ada untungnya juga buat gue dan orang-orang lain, tapi kenapa kita semua bergembira bersama? Satu hal yang sama, mereka -yang membuat orang lain bahagia hanya dengan melihat mereka bahagia adalah orang-orang baik. Mereka, sadar atau nggak udah menginspirasi banyak orang dengan kehidupan yang mereka jalani. Mereka dicintai karena kepribadian yang menyenangkan dan gemar menyebar manfaat. Manfaat yang mereka bagi sesederhana melempar senyum dengan ikhlas atau seserius turun tangan memperjuangkan hak orang yang dirampas. Mereka orang baik. Gue yakin, jauh sebelum label "orang baik" melekat pada diri mereka ada begitu banyak

Rindu di Malam Minggu

Rindu di malam minggu Pada angka berlingkar mataku terpaku Dayaku sebatas menghitung waktu Menyilang angka satu per satu Obat rindu hanya jumpa Tak sembuh dengan uraian kata Obat rindu hanya jumpa Tapi pelukku sampai lewat doa Kutitip rindu di langit sana Ambilkan untukku Kembalikan saat kita bersua Di malam minggu pertama bulan kedua

Perihal Perizinan Menginap dan Pelajaran di Dalamnya.

Izin menginap dari orang tua adalah salah satu hal yang paling sulit gue kantongin. Dari gue kecil, Ayah-Ibu emang selalu menekankan ke anak-anak mereka (baik gue atau yang cowok-cowok) kalo "nggak baik nginep-nginep". Jadilah gue hampir nggak pernah nginep di rumah temen atau sekolah. Waktu kecil sih gue nggak masalah, toh gue juga nggak kepingin nginep-nginep di rumah temen. Tapi hal itu jadi masalah sejak sekolah gue mulai ngadain acara-acara yang pakai nginep. Pertama kali ada acara nginep di sekolah kalo nggak salah waktu kelas 6 SD, sekolah ngadain persami (perkemahan sabtu-minggu). Itu pertama kalinya gue nangis ngebujuk ortu untuk dibolehin nginep, tapi gagal. Padahal jarak rumah gue  ke sekolah  cuma 400 m yang berarti bisa ditempuh dengan jalan kaki 5 menit yang berarti deket. Banget. Tapi tetep ga boleh nginep. Yaudahlahya. Waktu itu akhirnya gue ikut persami, tapi jam 10 malam dijemput Ayah dan jam 5 pagi dianter lagi ke sekolah. x") Di SMP, makin ban

Ikut, Yah!

Di suatu sore, ketika gue lagi sedikit merajuk karena nggak boleh ikut Ayah pergi ngelihat pesantren, Bibi memulai percakapan... Bibi: Kak Nur, Tia cengeng gak sih waktu kecil? Ibu: Banget. Sama orang takut, dideketin nangis. Ngeliat genteng rumah Jidah Umi aja nangis. Tuh Haji Oni (teman ayah) hafal banget deh, suka nanyain yang nangis mulu mana haha. Bibi: Fataa (anak pertama bibi) juga gitu. Kayaknya semua anak pertama cengeng deh. Kak Nur dulu gitu juga nggak? Ibu: Wah dulu Kak Nur nangis melulu. Penginnya ikut Aba' terus. Aba' kan dulu punya panglong, kalo Aba' ke panglong ibu pasti nangis2 minta ikut.  Dengar cerita ibu, gue langsung cengar-cengir senang. Gue: Tuh kan! Ibu aja kepengin ikut ayahnya terus. Pantes aja kalau Tia kayak gini. Ibu: Eh! Ibu kan dulu, masih kecil..lah kamu sampe gede. Gue: ....*iya juga sih* Bibi: Mungkin itu karena ayah Kak Nur meninggal kali. Jadinya Kak Nur gak begitu terus. Ibu: hahaha iya kali ya. (Jid meninggal sa

Menuju 20

Saat kita mulai dewasa, bukan sekadar mainan rusak penyebab tangisan. Bukan lagi takut kehabisan film kartun kesayangan yang buat gelisah. Beranjak dewasa, perlahan tapi pasti, aku diperlihatkan banyak hal. Mulai dari yang indah sampai yang menjijikan. Beruntung, setiap hal diperlihatkan kepadaku dari berbagai sudut pandang. Beberapa hal mutlak, sisanya relatif. Soal aksi-reaksi. Itu kupelajari. Apakah aku siap jadi orang yang dibilang dewasa? Apakah aku siap mengalami, bukan hanya melihat, berbagai hal dari yang indah sampai menjijikan? Kecemasan seperti itu mulai sering muncul. Kalau sudah begitu, yang kulakukan hanya mengingat berbagai hal yang sudah kupelajari dan bertekad itu akan kuterapkan dalam kehidupan dewasaku. Biar bisa melompat lebih tinggi..dan kalaupun masih terjatuh -pasti, setidaknya jatuh ke lubang yang lain. Lumayan, menambah pengalaman dan pelajaran. Saat kita mulai dewasa, saat itulah banyak hal tampak nyata. Mungkin bukan keadaan yang berubah

Kerja Keras di Dua Ribu Tiga Belas

Nggak kerasa udah beberapa hari gue ninggalin tahun 2013. Belum telat kan kalau kali ini gue mau bahas gimana suka duka hidup gue di tahun 2013. Hmm..mulai dari awal 2013. Waktu itu lagi liburan jelang masuk semester 4. Di situ, gue yang baru selesai jadi pengurus BEM, ditawarin oleh senior tak dikenal untuk gabung jadi pengurus inti kepanitiaan yang dia ketuai. Kaget sih. Usut punya usut, ternyata gue direkomendasiin sama senior anak BEM juga (Konspirasi ini! Tapi makasih Kak udah buka jalan ke sana). Kerja pertama kali sebagai PI dengan mayoritas orang yang sama sekali nggak gue kenal rasanya tuh...superb! Itu kepanitiaan terbesar dan terlama yang pernah gue ikutin (acara September, persiapan udah mulai dari Januari dengan total panitia +/- 100). Luar biasalah bisa satu tim sama orang-orang yang keren banget. Di awal tahun ini, orang tua ngembangin usaha jualan di rumah, dari cuma es teh jadi warung mini yang ngejual berbagai barang. Alhamdulillah. Kami jadi punya kegiatan b